Gadisku,
Bagiku pacar pertama dan cinta pertama tidaklah sama.
Hari-hari gelapku bersama tuminem akhirnya berhenti ketika aku lulus kelas tiga.
pada tuminem aku bilang ingin fokus dengan pendidikan, itulah bahasa halus pria.
kata orang putus cinta itu menyakitkan, tetapi aku tidak frustasi sama sekali, yang aku pikirkan hanyalah diriku saja. Aku tidak peduli lagi pada tuminem, ingat wajahnya pun tidak. Terakhir aku pernah bertemu dia di pasar, dengan dua anak dan seorang kakek tua, aku sempat tidak mengenalinya lalu segera tersadar setelah mendengar suara cemprengnya, "Hai bas, kenalkan ini suamiku. . ."
***
Baskoro,
kamu bukan orang yang sama yang kutemui lima belas tahun yang lalu.
waktu itu tinggimu hanya sejajar dengan kupingku, tidak lebih.
aku tidak banyak mengenalmu, walaupun kelasku dan kelasmu hanya dipisahkan oleh ruang guru.
Yang aku tahu, kamu pendek dan brutal. hanya itu.
Aku tidak pernah berharap untuk bertemu denganmu, desember kemarin.
bertemu denganmu Bas, rasanya sangat tidak nyaman.
Bukan karena badanmu sekarang jauh lebih tinggi dariku dan tegap.
Aku hanya merasa tidak seharusnya kita bertemu, senja itu. . .
***
Gadisku,
aku percaya tidak ada kebetulan di dunia ini, yang ada hanyalah takdir. Tuhan telah merencanakan pertemuan kita. Entah kenapa otakku tidak lagi rakus akan paras ayu para wanita. Manusia berubah seiring bertambah usia. Aku membutuhkan seorang pendamping yang kelak menjadi ibu bagi anak-anakku, yang bisa kuandalkan ketika aku harus pergi bertugas. Kau tahu, tugasku tidak mudah, bagiku keluarga bukanlah sebuah pilihan karena kewajibanku adalah melayani negara. Kau tahu, aku membutuhkan lebih dari sebuah cinta dan kesetiaan, aku tidak lagi mengejar gengsi ataupun kehormatan karena aku telah memiliki semuanya, aku hanya ingin seseorang menjaganya untukku.
Aku tidak bisa menjelaskan dengan logika yang selama ini kubanggakan, bagaimana bisa aku jatuh cinta padamu
secepat pandangan mata? Jadi katakan padaku, bagaimana bisa kamu membuatku resah sejauh ini?
***
Baskoro,
entah setan apa yang merasukimu, sehingga kamu nekat bernyanyi untukku lewat telepon.
Sinyal putus-putus, suaramu soak, jujur telingaku sakit.
Aku pikir kamu berubah menjadi lebih dewasa, tapi tetap saja kamu se-sinting dulu.
Aku tidak pernah berpura-pura tidak suka telepon darimu Bas. . .
Aku juga suka semua surat-suratmu.
Bahkan aku selalu menunggunya.
Aku suka mendengar ceritamu, aku suka gayamu mendongengkannya padaku.
Bahkan surat tentang mantan-mantanmu pun, aku suka.
aku tidak berhak cemburu Bas, tidak sekalipun.
tapi tahu tidak, jauh di dalam hatiku aku merasa ngilu sekali. Kenapa aku harus bertemu denganmu?
bersambung. . .
0 komentar:
Posting Komentar