Gadisku,
sudah lama aku mengenalmu,
aku tidak tahu sejak kapan tepatnya aku menyukaimu,
yang jelas bukan waktu jaman SMP dulu, ketika kamu masih gendut, hitam, berjerawat.
juga bukan waktu SMA, waktu itu aku masih jadian sama Tuminem.
Tuminem si bintang sekolahan, anaknya pak Bupati.
Kenapa aku jadian sama tuminem itu karena dia cantik, dan sebuah gengsi besar kalau bisa mendapatkannya, belum lagi aku hemat bensin karena tiap pagi dijemput mobil mewahnya. Aku cuman butuh waktu seminggu untuk berpura-pura bersikap perhatian, menghujaninya dengan gombalan plus modal sedikitlah untuk kado-kado. Sejujurnya, aku tidak pernah benar-benar memilih sendiri kado-kadonya, Lastri sahabatku yang membelikannya. Entah kenapa tuminem langsung lumer, menerimaku.
Awalnya, aku masih mau pergi jalan dengan Tuminem, tapi lama-lama aku jengah. Kamu tahu kenapa?
Setiap aku datang tepat waktu menjemputnya, aku harus menunggu 30 menit lagi untuk dia berdandan. Setebal apa sih riasannya? Belum lagi aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan, "yang aku cantik gak pake baju ini?", alamaakk, biasanya aku bohong aku iyakan saja padahal menurutku kadang pakaiannya terlalu heboh dan mencolok. Pernah suatu hari aku jujur bilang "ganti bajunya dong" eh tuminem ngambek, alhasil kita malah nggak jadi pergi. Lain waktu aku sengaja datang terlambat, aku malas menunggunya terlalu lama, emang aku supirnya? Giliran telat, tuminem marah-marah kaya babi kesurupan. Maunya apa sih?
Tuminem selalu mengajakku pergi belanja. Ya, belanja. Aku benci harus menunggu wanita belanja berjam-jam. Aku heran kenapa dia menjadi sangat girang melihat papan merah bertuliskan "diskon", aku heran mengapa dia habiskan uangnya untuk baju yang sobek dimana-mana, aku heran mengapa dia menjadikan belanja sebagai hobi seminggu sekali. Setiap kali aku lapar, aku ingin makan di tempat tertentu, tuminem selalu protes, "nanti aku gendut yang.", "aku gak bisa makan itu, banyak kalorinya.", astaganaga, makan rumput aja kalo gitu neng. Kenapa wanita selalu mengeluhkan berat badan kepada pacar? kenapa mereka selalu diet, diet dan diet walaupun badannya udah setipis papan. harusnya mereka konsultasi ke ahli gizi jiwa. Kalau aku ajak tuminem makan di emperan, "yaang, jangan disini ya, panas, nanti aku item.", Sumpah, nemenin tuminem jalan-jalan kayanya bisa meningkatkan tekanan darah.
Setiap kali kami jalan lalu berpapasan dengan wanita cantik, lenganku jadi biru dicubit oleh tuminem. Dia bilang mataku jelalatan. Kambiing, memangnya salah kalau aku melihat yang segar-segar, toh aku belum tentu suka, toh aku hanya melihat atau tidak sengaja terlirik. Aku jengkel setengah mati, kayanya Tuminem minta ditendang ke alam akhirat.
Satu bulan berjalan, aku sudah tak tahan.
Kebebasanku terenggut, aku pun mulai bosan. Malam mingguan aku lebih memilih bersama teman-teman daripada ngapelin Tuminem. Handphone aku matikan karena kalo enggak tiap semenit sekali handphone bunyi: "yang lagi dimana?" semenit kemudian "yang kok nggak dibales sih?". Edan, semenit belum sempet pencet tombol reply itu mah.
Di sekolah tuminem terus ngejar kaya anak ayam. Katanya, "yang kamu jahat banget deh gak inget yah ini hari apa?". Aku tanpa ambil pusing bilang kalau ini hari senin. Tuminem mewek sambil pukul-pukul dada terus lari masuk kelas. Apa sih, sinetron abis. Aku tidak pernah bisa mengerti apa maunya Tuminem. Dia bicara panjang lebar, menyindir secara halus, bicara dengan analogi dan perumpamaan, menyindir secara frontal, bahkan memberi tekanan pada kata-kata tertentu sampai mulutnya berbusa. Serius, aku nggak ngerti. Apa ini hari ulang tahun bapaknya, terus aku disuruh ngucapin selamet? Apa hari ini seribu harian neneknya atau apa?
"Ini kan hari sebulan jadian kita. . ." kata tuminem lirih.
Uh ? hari sebulan jadian? . . . . Ampe aku cerna berkali-kali kata-kata itu "Sebulan jadian" aku masih nggak ngerti juga SO WHAAAAAATT KALO HARI INI SEBULAN JADIAN?!kapan aku jadian sama tuminem aja aku udah lupa, dan kenapa hari ini begitu penting?
0 komentar:
Posting Komentar