"Otakku tidak akan cukup untuk menampung semuanya."

Kamis, 05 Mei 2011

#Chapter 1

 Yogyakarta, 20 Januari 2009

 Angin kering nan panas menerbangkan debu di sekelilingku. Mataku kelilipan. Rambutku porak poranda.
Siang ini matahari terik sekali. Kulitku perih terbakar, tenggorokanku kering. Aku haus.
Sedari tadi aku menunggu, lima-sepuluh menit-lima belas menit, aih lama sekaliiiiiii aku tak sabar.
Sepuluh menit kemudian, setelah total dua puluh lima menit aku menunggu, sebuah motor melintas lambat di depanku *ciittt>efek suara motor ngerem:D*. Motor mas pram-ku.
"Gadiss, maaf ya mas telat. . ." ujar mas Pram sambil nyengir-cengiran khasnya yang super ganteng.
Uh, aku cuman bisa manyun dan lekas nangkring di jok belakang motornya.
"Mas, beli minum dulu yuk, gadis hauus. ." pintaku.
Mas Pram tak menjawab, hanya mengangguk. Motor kami pun melaju, lambat-lambat, mirip kuda nil keberatan pantat. Kata Mas Pram dulu, biar ga terlalu cepat sampai di rumah, biar makin lama waktu berduaannya. Aku menjadi makin tak sabar, kugetok kepala Mas Pram kuat-kuat. Duk-duk!.
"Maaaasss buruaaaaannnn panaaaaaasss niihhh!!!"
***

Mas Pram adalah kekasihku, jantung hatiku, dan membuat para pria lain seperti kentang di mataku. Mas Pram sudah bekerja di salah satu BUMN di Jakarta. Dia adalah tipikal pria dewasa, mapan, dan idaman para wanita. Setiap akhir pekan Mas Pram selalu menyempatkan diri untuk pulang ke Yogya, katanya ia tidak sanggup terlalu lama jauh dariku.Uhuk.
Sedangkan aku? aku hanyalah seorang guru biasa. Guru TK tepatnya. Setelah tamat sarjana jurusan psikologi, aku lebih memilih berkecimpung dalam dunia ini, dunia anak-anak. Aku sangat suka anak-anak, rasanya aku tidak pernah lelah menghadapi segala kenakalan mereka. Nanti, jika aku sudah menikah aku berencana membuat anak yang banyak sekali supaya ketika aku tua nanti aku tidak merasa kesepian. Aku juga ingin memiliki TK-ku sendiri. Memang gaji yang aku dapat tidak seberapa, padahal mungkin aku bisa mendapatkan lebih dari ini. Aku lulus dengan nilai cumlaude dan banyak sekali perusahaan yang membutuhkan lulusan psikologi. Tapi aku lebih suka menjadi Guru TK. Lucu ya?
 ***

Hubungan kami berdua sudah sangat serius.
Aku masih ingat jelas bagaimana Mas Pram melamarku.
Waktu itu, aku tengah berada di dalam kelas TK-A dan aku sedang sibuk menceboki muridku, Cicil. Cicil ngompol di dalam kelas.
"Huweeeeeeeeeee, hiks hiks." Cicil nangis jerit-jerit. Heran deh kenapa anak kecil habis ngompol pasti nangis.
"Cicil sayaaangg cup cup..psstt ini ibu kasih celana baru ada gambar bebeknya tuuu cicil ceneng nggak?"
Cicil kecil manggut-manggut.
"Ya udaa cicil jangan nangis lagi ya, tadi pas kebelet kenapa nggak bilang dulu sama ibuu?"
Srottt..Srottt. Si cicil cuma sibuk nyedotin ingus yang keluar bersama airmatanya sambil kucek-kucek hidung.
. . .
tiba-tiba,
"BU GUYUUUU BU GUYUUUUUU. ." sebuah teriakan cempreng plus cedal memanggilku.
"Iya sayaang?" Aku menoleh. Ternyata Ilham, anak didikku yang bermata sipit yang memanggilku. Ilham ini adalah muridku yang paling keras suaranya dan paling pintar, hobinya adalah membanting barang-barang di sekelilingnya.
. . .
"hiiiii cicil, mayuuuuuuu" ujar ilham sambil menutupi wajahnya tapi bukan matanya.
"Eh ilham keluar dulu ya sayang, sebentar ya" buru-buru ilham kubimbing keluar kamar mandi sementara di belakangku cicil kembali menangis.
"Aduhh, cup cup, cicil kan udah pake celana ya, gapapa yaa. ayuk keluar sama ibu yuk" aku menggandeng tangan cicil, lembut.
Belum sempat aku membawa cicil kembali ke tempat duduknya, Ilham menarik-narik bagian bawah bajuku dari belakang. "BU GUYUUU, ITU ADA OM-NYA, OM-NYA NYALIIN BU GUYUU." 
Om?
Spontan aku menoleh ke arah pintu.
Mas Pram.
Mas Pram dengan banyak sekali balon di belakangnya.
"BU GUYUU HOYEEE ILHAM MAU BALONN!!" Suara ilham membuat muridku yang lain berteriak "AKU JUGAA!!AKU JUGAA!!"
Aku bergegas ke arah pintu dengan kening berkerut. "Ada apa ini mas?"
Mas Pram senyum-senyum penuh rahasia. Sementara balon-balon di tangannya mulai diperebutkan anak-anak.
"Siapa yang mauu baloonnn?" kata Mas Pram.
Semua anak di kelas itu tunjuk jari, sementara para orang tua murid mulai mengintip dari jendela.
Sekarang kelas penuh dengan balon, murid-muridku sibuk melempar-menendang-menduduki-merampas balon temannya, sedangkan mas Pram mengambil tanganku lembut.
"Gadis, aku punya dua kabar yang harus kamu tahu, kabar baik dan kabar buruk. Mas minta maaf, Mas terpaksa harus nyampaiin ini di sini, di depan anak-anak."
Deg. Ini hari senin. Dan Aku tahu pasti Mas Pram tidak akan mungkin datang kecuali hari sabtu dan minggu. Kabar ini pastilah sangat penting, aku takut sekali.
"Iya mas. . . ."
"Kabar buruknya, Mas harus pergi ke Amerika lima bulan lagi. Mas dapet beasiswa dari perusahaan. . ."
Mas pram akan pergi? meninggalkanku?
. . .
"berapa lama mas?" tanyaku.
"belum tahu dis. . ." Mas Pram mempererat genggamannya.
. . .
"tapi mas ga akan pergi sendirian dis. . mas pengen gadis nemenin mas. . " lanjut mas Pram sambil tersenyum.
. . .
"maksud mas?"
"KITA MENIKAH sebelum bulan Juni ya sayang. ."
Ilham, yang sedari tadi menguping dari balik pintu langsung berteriak.
"CUIIITT CUITT!!!" ilham meringis. 
Mukaku merona merah. Menahan malu. Menahan haru. Aku bahagia. . . .

bersambung. . .

Selasa, 03 Mei 2011

Cerbung: Te Amo #2

Gadisku,
Bagiku pacar pertama dan cinta pertama tidaklah sama.
Hari-hari gelapku bersama tuminem akhirnya berhenti ketika aku lulus kelas tiga.
pada tuminem aku bilang ingin fokus dengan pendidikan, itulah bahasa halus pria.
kata orang putus cinta itu menyakitkan, tetapi aku tidak frustasi sama sekali, yang aku pikirkan hanyalah diriku saja. Aku tidak peduli lagi pada tuminem, ingat wajahnya pun tidak. Terakhir aku pernah bertemu dia di pasar, dengan dua anak dan seorang kakek tua, aku sempat tidak mengenalinya lalu segera tersadar setelah mendengar suara cemprengnya, "Hai bas, kenalkan ini suamiku. . ."
***

Baskoro,
kamu bukan orang yang sama yang kutemui lima belas tahun yang lalu.
waktu itu tinggimu hanya sejajar dengan kupingku, tidak lebih.
aku tidak banyak mengenalmu, walaupun kelasku dan kelasmu hanya dipisahkan oleh ruang guru.
Yang aku tahu, kamu pendek dan brutal. hanya itu.
Aku tidak pernah berharap untuk bertemu denganmu, desember kemarin.
bertemu denganmu Bas, rasanya sangat tidak nyaman.
Bukan karena badanmu sekarang jauh lebih tinggi dariku dan tegap.
Aku hanya merasa tidak seharusnya kita bertemu, senja itu. . .
 ***

Gadisku,
aku percaya tidak ada kebetulan di dunia ini, yang ada hanyalah takdir. Tuhan telah merencanakan pertemuan kita. Entah kenapa otakku tidak lagi rakus akan paras ayu para wanita. Manusia berubah seiring bertambah usia. Aku membutuhkan seorang pendamping yang kelak menjadi ibu bagi anak-anakku, yang bisa kuandalkan ketika aku harus pergi bertugas. Kau tahu, tugasku tidak mudah, bagiku keluarga bukanlah sebuah pilihan karena kewajibanku adalah melayani negara. Kau tahu, aku membutuhkan lebih dari sebuah cinta dan kesetiaan, aku tidak lagi mengejar gengsi ataupun kehormatan karena aku telah memiliki semuanya, aku hanya ingin seseorang menjaganya untukku.
Aku tidak bisa menjelaskan dengan logika yang selama ini kubanggakan, bagaimana bisa aku jatuh cinta padamu  
secepat pandangan mata? Jadi katakan padaku, bagaimana bisa kamu membuatku resah sejauh ini?
 ***

Baskoro,
entah setan apa yang merasukimu, sehingga kamu nekat bernyanyi untukku lewat telepon.
Sinyal putus-putus, suaramu soak, jujur telingaku sakit.
Aku pikir kamu berubah menjadi lebih dewasa, tapi tetap saja kamu se-sinting dulu.
Aku tidak pernah berpura-pura tidak suka telepon darimu Bas. . .
Aku juga suka semua surat-suratmu.
Bahkan aku selalu menunggunya.
Aku suka mendengar ceritamu, aku suka gayamu mendongengkannya padaku.
Bahkan surat tentang mantan-mantanmu pun, aku suka.
aku tidak berhak cemburu Bas, tidak sekalipun.
tapi tahu tidak, jauh di dalam hatiku aku merasa ngilu sekali. Kenapa aku harus bertemu denganmu?

bersambung. . .

Cerbung: Te Amo #1

Gadisku,
sudah lama aku mengenalmu,
aku tidak tahu sejak kapan tepatnya aku menyukaimu,
yang jelas bukan waktu jaman SMP dulu, ketika kamu masih gendut, hitam, berjerawat.
juga bukan waktu SMA, waktu itu aku masih jadian sama Tuminem.
Tuminem si bintang sekolahan, anaknya pak Bupati.
Kenapa aku jadian sama tuminem itu karena dia cantik, dan sebuah gengsi besar kalau bisa mendapatkannya, belum lagi aku hemat bensin karena tiap pagi dijemput mobil mewahnya. Aku cuman butuh waktu seminggu untuk berpura-pura bersikap perhatian, menghujaninya dengan gombalan plus modal sedikitlah untuk kado-kado. Sejujurnya, aku tidak pernah benar-benar memilih sendiri kado-kadonya, Lastri sahabatku yang membelikannya. Entah kenapa tuminem langsung lumer, menerimaku.

Awalnya, aku masih mau pergi jalan dengan Tuminem, tapi lama-lama aku jengah. Kamu tahu kenapa?

Setiap aku datang tepat waktu menjemputnya, aku harus menunggu 30 menit lagi untuk dia berdandan. Setebal apa sih riasannya? Belum lagi aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan, "yang aku cantik gak pake baju ini?", alamaakk, biasanya aku bohong aku iyakan saja padahal menurutku kadang pakaiannya terlalu heboh dan mencolok. Pernah suatu hari aku jujur bilang "ganti bajunya dong" eh tuminem ngambek, alhasil kita malah nggak jadi pergi. Lain waktu aku sengaja datang terlambat, aku malas menunggunya terlalu lama, emang aku supirnya? Giliran telat, tuminem marah-marah kaya babi kesurupan. Maunya apa sih?

Tuminem selalu mengajakku pergi belanja. Ya, belanja. Aku benci harus menunggu wanita belanja berjam-jam. Aku heran kenapa dia menjadi sangat girang melihat papan merah bertuliskan "diskon", aku heran mengapa dia habiskan uangnya untuk baju yang sobek dimana-mana, aku heran mengapa dia menjadikan belanja sebagai hobi seminggu sekali. Setiap kali aku lapar, aku ingin makan di tempat tertentu, tuminem selalu protes, "nanti aku gendut yang.", "aku gak bisa makan itu, banyak kalorinya.", astaganaga, makan rumput aja kalo gitu neng. Kenapa wanita selalu mengeluhkan berat badan kepada pacar? kenapa mereka selalu diet, diet dan diet walaupun badannya udah setipis papan. harusnya mereka konsultasi ke ahli gizi jiwa. Kalau aku ajak tuminem makan di emperan, "yaang, jangan disini ya, panas, nanti aku item.", Sumpah, nemenin tuminem jalan-jalan kayanya bisa meningkatkan tekanan darah.

Setiap kali kami jalan lalu berpapasan dengan wanita cantik, lenganku jadi biru dicubit oleh tuminem. Dia bilang mataku jelalatan. Kambiing, memangnya salah kalau aku melihat yang segar-segar, toh aku belum tentu suka, toh aku hanya melihat atau tidak sengaja terlirik. Aku jengkel setengah mati, kayanya Tuminem minta ditendang ke alam akhirat.

Satu bulan berjalan, aku sudah tak tahan.
Kebebasanku terenggut, aku pun mulai bosan. Malam mingguan aku lebih memilih bersama teman-teman daripada ngapelin Tuminem. Handphone aku matikan karena kalo enggak tiap semenit sekali handphone bunyi: "yang lagi dimana?" semenit kemudian "yang kok nggak dibales sih?". Edan, semenit belum sempet pencet tombol reply itu mah.

Di sekolah tuminem terus ngejar kaya anak ayam. Katanya, "yang kamu jahat banget deh gak inget yah ini hari apa?". Aku tanpa ambil pusing bilang kalau ini hari senin. Tuminem mewek sambil pukul-pukul dada terus lari masuk kelas. Apa sih, sinetron abis. Aku tidak pernah bisa mengerti apa maunya Tuminem. Dia bicara panjang lebar, menyindir secara halus, bicara dengan analogi dan perumpamaan, menyindir secara frontal, bahkan memberi tekanan pada kata-kata tertentu sampai mulutnya berbusa. Serius, aku nggak ngerti. Apa ini hari ulang tahun bapaknya, terus aku disuruh ngucapin selamet? Apa hari ini seribu harian neneknya atau apa?

"Ini kan hari sebulan jadian kita. . ." kata tuminem lirih.
Uh ? hari sebulan jadian? . . . . Ampe aku cerna berkali-kali kata-kata itu "Sebulan jadian" aku masih nggak ngerti juga SO WHAAAAAATT KALO HARI INI SEBULAN JADIAN?!kapan aku jadian sama tuminem aja aku udah lupa, dan kenapa hari ini begitu penting?